
Global Rise TV (Lubuk Besar) — Jumat, 26 Desember 2025.
Gelombang desakan publik kian menguat agar Satgas PKH dan Kejaksaan Tinggi Bangka Belitung bertindak tegas, menyeluruh, dan tanpa tebang pilih. Penegakan hukum diminta tidak berhenti pada tambang timah ilegal semata, tetapi juga menyasar dugaan penguasaan Hutan Lindung Sarang Ikan Lubuk Besar yang dilaporkan beralih fungsi menjadi kebun kelapa sawit skala besar. Nama pengusaha Haji Madi kini berada dalam sorotan tajam publik.
Kawasan yang dahulu dikenal sebagai sarang ikan alami dan perairan “air hijau”—penopang utama ekosistem pesisir serta mata pencaharian nelayan—disebut mengalami degradasi serius. Hamparan sawit yang tumbuh di kawasan yang secara hukum dilarang keras untuk aktivitas perkebunan komersial menimbulkan pertanyaan mendasar: mengapa praktik yang terlihat nyata ini dibiarkan bertahun-tahun tanpa penindakan?
Jangan Tebang Pilih: Tambang Ditindak, Sawit Ilegal Dibiarkan?
Masyarakat membandingkan dengan penindakan tambang timah ilegal yang selama ini dilakukan secara masif—alat berat dan mesin disita, bos tambang ditangkap, diproses, bahkan ditahan. Namun pada saat yang sama, kebun kelapa sawit di kawasan hutan lindung justru terus berproduksi dan panen bertahun-tahun tanpa sentuhan hukum.

“Jangan cuma tambang timah ilegal yang dirazia. Kebun kelapa sawit di hutan lindung itu nyata, jelas, dan sudah bertahun-tahun panen. Tapi kenapa tidak ditindak?” tegas Rs, warga setempat.
Menurut warga, fakta lapangan tidak terbantahkan. Kebun sawit berdiri dan beroperasi di kawasan yang dilindungi undang-undang, namun para pemilik dan pengendalinya seolah lolos dari jerat hukum. Kondisi ini memunculkan dugaan pembiaran sistematis dan ketimpangan penegakan hukum—hukum dinilai tajam ke bawah, tumpul ke pemilik modal.
Ultimatum Publik: Aksi Nyata atau Wibawa Negara Dipertaruhkan
Publik menuntut langkah konkret dan terukur: penyegelan lokasi, penghentian seluruh aktivitas, penelusuran alur penguasaan lahan, penghitungan kerugian negara, penyitaan hasil serta sarana produksi, hingga penindakan pidana terhadap aktor utama jika unsur pelanggaran terpenuhi. Proses hukum diminta tidak berhenti pada klarifikasi administratif.
“Ini ujian keberanian negara. Jika hutan lindung dibiarkan dijarah dan dipanen bertahun-tahun tanpa sanksi, maka yang runtuh bukan hanya ekosistem, tetapi wibawa hukum itu sendiri,” tegas sumber tim investigasi.
Dasar Hukum & Sanksi Pidana (Wajib Diterapkan)
- UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
Pasal 50 ayat (3) huruf a dan b
Melarang setiap orang mengerjakan, menggunakan, atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah, termasuk untuk perkebunan.
Sanksi – Pasal 78 ayat (2):
Penjara hingga 10 tahun
Denda hingga Rp5 miliar - UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H)
Pasal 17 ayat (2)
Melarang kegiatan perkebunan di kawasan hutan tanpa izin kehutanan.
Sanksi – Pasal 92 ayat (1):
Penjara 3–10 tahun
Denda Rp1,5–5 miliar
👉 Jika dilakukan secara terorganisir/skala besar:
Penjara hingga 15 tahun
Denda hingga Rp15 miliar - UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pasal 69 ayat (1)
Melarang perbuatan yang menyebabkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan.
Sanksi – Pasal 98 ayat (1):
Penjara 3–10 tahun
Denda Rp3–10 miliar - Pertanggungjawaban Korporasi
Jika perbuatan dilakukan oleh atau untuk kepentingan korporasi, maka:
Direksi/pengendali/beneficial owner dapat dipidana
Aset hasil kejahatan disita
Kebun sawit dirampas untuk negara
Pelaku wajib melakukan pemulihan lingkungan
Penegasan Akhir
Menanam, mengelola, dan memanen kebun kelapa sawit di kawasan hutan lindung adalah tindak pidana serius, bukan pelanggaran administratif. Publik kini menunggu aksi nyata, bukan janji. Usut tuntas. Tindak tegas. Pulihkan lingkungan. Negara tidak boleh kalah di tanahnya sendiri.
GlobalRiseTV :
@M394

