
Global Rise TV (Karawang)-Dunia pers dan masyarakat sipil Karawang tengah dikejutkan dengan kasus hukum yang menimpa Yusuf Saputra, warga Desa Pinayungan, Kecamatan Telukjambe Timur, Kabupaten Karawang. Yusuf dilaporkan dan kini menjalani proses hukum dengan tuduhan pencemaran nama baik terhadap Kepala Desa berinisial E, setelah memberikan pernyataan sebagai narasumber dalam sebuah pemberitaan media online pada 2024.
Padahal, Yusuf bukanlah pembuat maupun penyebar berita. Ia hanya menjawab pertanyaan wartawan secara terbuka dalam kapasitasnya sebagai warga yang memberikan keterangan.
“Saya hanya menyampaikan apa yang saya dengar dari pengacara perusahaan. Tidak ada niat menuduh siapa pun. Saya juga tidak pernah menyebut nama atau inisial,” jelas Yusuf usai menjalani sidang di Pengadilan Negeri Karawang, Senin (2/6/2025).
Namun demikian, Yusuf justru dijerat Pasal 27 ayat (3) UU ITE tentang pencemaran nama baik melalui media elektronik, dengan ancaman hukuman satu tahun penjara dan denda hingga Rp100 juta. Ia telah dipanggil empat kali oleh penyidik dan langsung ditetapkan sebagai tersangka, tanpa upaya klarifikasi atau mediasi terlebih dahulu.
“Kriminalisasi Narasumber dan Ancaman terhadap Kebebasan Berpendapat*
Kuasa hukum Yusuf, Simon, mengecam keras langkah hukum ini. Menurutnya, kasus tersebut seharusnya ditangani oleh Dewan Pers, sebagaimana diatur dalam Pasal 15 UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.
“Yang dilaporkan adalah narasumber, bukan medianya. Ini bentuk kriminalisasi yang mencederai prinsip keadilan dan logika hukum,” tegas Simon.
Kasus ini telah memicu solidaritas luas dari komunitas pers. Lebih dari 40 jurnalis dari berbagai media lokal dan nasional menyatakan sikap menolak kriminalisasi terhadap narasumber. Mereka menggelar konsolidasi dan menegaskan bahwa hak warga negara untuk menyampaikan kritik adalah bagian dari demokrasi yang dijamin konstitusi. Selasa, 3/6/2025.
Ketua IWOI Karawang: Pemberitaan dan Kritik Tidak Bisa Dipidana
Di tempat terpisah, Ketua Ikatan Wartawan Online Indonesia (IWOI) DPD Karawang, Syuhada Wisastra, menegaskan bahwa pemberitaan dan kritik tajam melalui media tidak bisa dipidanakan.
“Pemberitaan tidak bisa dibawa ke ranah pidana selama dilakukan sesuai Undang-Undang Pers dan Kode Etik Jurnalistik. Kritik tajam adalah bagian dari fungsi pers sebagai kontrol sosial. Negara ini menjamin kemerdekaan pers,” tegas Syuhada dalam keterangan persnya, Selasa (3/6/2025).
Ia mengingatkan bahwa sengketa pemberitaan harus diselesaikan melalui Dewan Pers, bukan melalui proses pidana. Syuhada juga menyoroti bahwa warga negara berhak menyampaikan pendapatnya, termasuk melalui media, selama tidak melanggar hukum.
Kebebasan Berpendapat Dijamin Konstitusi
Kasus Yusuf mencerminkan ancaman serius terhadap kebebasan berpendapat, yang sejatinya dijamin oleh:
Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan menyampaikan pendapat.
UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, yang menjamin hak menyampaikan informasi melalui berbagai media.
Meski demikian, kebebasan berpendapat tetap memiliki batas hukum, seperti larangan menyebarkan hoaks, fitnah, atau ujaran kebencian. Namun kritik yang disampaikan secara sah, tanpa unsur pencemaran atau penghinaan, adalah bagian dari demokrasi yang harus dilindungi.
Seruan untuk Menjaga Kemerdekaan Pers dan Demokrasi
Syuhada mengajak seluruh jurnalis dan media untuk tetap menjaga integritas dan keberimbangan dalam pemberitaan. Ia juga menyerukan agar masyarakat tidak takut menyuarakan kritik yang konstruktif.
“Kasus Yusuf bukan sekadar persoalan hukum, tapi ujian nyata terhadap komitmen kita dalam menjaga demokrasi dan hak asasi warga untuk berbicara. Jangan biarkan kritik yang sah dibungkam oleh pasal karet,” pungkasnya. (Red)