
Global Rise TV (Karawang Jawabarat)– Prestasi gemilang kembali ditorehkan atlet Tadjimalela K6C Karawang dalam ajang Bapopsi Open Championship di GOR ITB Sumedang. Medali demi medali berhasil diraih, membuktikan kualitas dan konsistensi para atlet muda, sebagian di antaranya merupakan siswa SMPN 1 Cilamaya Wetan.
Namun di balik euforia kemenangan, muncul pertanyaan serius: mengapa prestasi yang mengharumkan nama sekolah justru tidak dibarengi dukungan nyata dari pihak sekolah?
Hingga kejuaraan usai, para atlet dan pelatih mengaku berjuang secara mandiri, mulai dari persiapan, keberangkatan, hingga pembiayaan lomba.
Tidak terlihat dukungan moral, administratif, apalagi fasilitas dari pihak SMPN 1 Cilamaya Wetan.
Pelatih Tadjimalela K6C Karawang, Ghori, menyampaikan kekecewaannya secara terbuka.
“Anak-anak ini juara, membawa nama baik daerah bahkan sekolahnya. Tapi sangat disayangkan, tidak ada perhatian atau dukungan sama sekali dari pihak sekolah. Padahal mereka ini siswa aktif yang berprestasi,” tegas Ghori.
Menurutnya, pembinaan atlet usia pelajar seharusnya menjadi tanggung jawab bersama, bukan hanya dibebankan kepada perguruan dan orang tua.
“Kami tidak minta berlebihan. Minimal dukungan moral, izin resmi yang dipermudah, atau apresiasi sederhana. Jangan sampai anak-anak merasa berprestasi tapi diabaikan,” lanjutnya.
Nada serupa juga disampaikan orang tua salah satu atlet, yang mengaku kecewa dengan sikap pihak sekolah.
“Kami sebagai orang tua sangat bangga anak kami juara. Tapi sedih, karena sekolah seolah tutup mata. Tidak ada ucapan, tidak ada perhatian. Padahal prestasi ini jelas membawa nama SMPN 1 Cilamaya Wetan,” ujar salah satu wali murid.
Ia menambahkan, seluruh kebutuhan anak saat bertanding dipenuhi secara mandiri oleh orang tua dan pelatih.
“Mulai dari transport, konsumsi, sampai perlengkapan, semua swadaya. Kalau bukan karena semangat anak dan pelatih, mungkin mereka sudah patah semangat,” tambahnya.
Situasi ini menimbulkan sorotan publik: ada apa dengan perhatian sekolah terhadap siswa berprestasi? Di tengah gencarnya jargon pendidikan karakter dan prestasi, fakta di lapangan justru menunjukkan minimnya keberpihakan terhadap atlet yang sudah berulang kali mengharumkan nama sekolah.
Prestasi tidak cukup hanya dipajang saat upacara atau media sosial. Dukungan nyata adalah bentuk penghargaan yang sesungguhnya. Jika kondisi ini terus dibiarkan, bukan tidak mungkin semangat generasi muda berprestasi justru akan terkikis oleh sikap abai dari institusi yang seharusnya menjadi rumah kedua mereka.
Juara terus, tapi sendiri. Ini bukan sekadar ironi, tapi alarm keras bagi dunia pendidikan

