“Kota Rapi, Rakyat Terpinggirkan: Ironi Pembangunan yang Tak Berpihak”

Global Rise TV (KARAWANG) -Pemerintah kita memang hebat—pandai menertibkan yang lemah, tapi gagap memberdayakan mereka. Di tengah badai pengangguran, lonjakan harga kebutuhan pokok, dan jurang ketimpangan ekonomi yang semakin menganga, mereka tetap fokus pada “penertiban kawasan”. Sasarannya jelas: warung tenda, pedagang kaki lima, gerobak nasi goreng, dan lapak-lapak kecil yang menyambung hidup jutaan rakyat.

Ironisnya, setiap tindakan penggusuran selalu dikemas rapi dalam jargon-jargon kebijakan: penataan ruang, optimalisasi fungsi kawasan, penegakan Perda. Tapi yang tidak pernah mereka sampaikan secara jujur adalah: ini bentuk pengabaian terhadap hak hidup rakyat miskin, kegagalan negara menyediakan ruang ekonomi yang adil, dan cermin betapa abainya pemerintah pada struktur ekonomi informal yang justru menopang sebagian besar kota.

Di balik setiap bangunan yang mereka sebut liar, ada cerita keterdesakan. Di balik setiap lapak yang mereka sebut mengganggu estetika kota, ada anak-anak yang harus makan, sekolah, dan bertahan hidup. Tapi negara, alih-alih hadir sebagai pelindung, justru lebih gemar menjadi algojo berseragam yang menyapu bersih suara perut yang lapar.

Mengapa tidak mulai dengan pertanyaan yang lebih jujur dan manusiawi:
Kenapa mereka memilih berdagang di sana?
Kenapa bukan di kios resmi?
Kenapa bukan bekerja kantoran seperti yang diidealkan kebijakan?

Jawabannya sederhana dan menyakitkan:
Karena lapak legal terlalu mahal.
Karena izin usaha kecil penuh birokrasi dan pungutan liar.
Karena tak ada pekerjaan formal yang menyerap mereka.
Karena negara tidak pernah benar-benar hadir di sisi mereka.

Jadi, ketika pemerintah dengan enteng berkata: “Kami sudah sosialisasi, kami beri waktu, kami lakukan sesuai prosedur,” itu bukan solusi. Itu hanya cara halus untuk mengatakan: “Masalahmu bukan tanggung jawab kami.”

Padahal, jika pemerintah benar-benar mau bekerja untuk rakyat—dan bukan hanya untuk investor atau citra kota—mereka bisa memulai dari hal mendasar:

Menyediakan zona legal dan terintegrasi untuk PKL.

Membuat tempat relokasi yang benar-benar strategis, bukan sekadar “digusur lalu dibuang”.

Memberikan akses kredit mikro dan pendampingan usaha, bukan razia dadakan tiap minggu.

Tapi tentu, semua itu jauh lebih rumit dan tidak sepopuler konferensi pers bertema “Kota Bebas PKL 2025” di hadapan kamera televisi.

Satu yang pasti: kota ini memang makin bersih dari pedagang kecil, tapi juga semakin kotor dari nurani dan rasa keadilan.
Yang tertib adalah spanduk dan aspal,
Tapi yang tersingkir adalah mereka yang menghidupi kota dari pinggir jalan.

Penulis Artikel ; Syuhada Wisastra
Pemerhati Kebijakan Publik dan Praktisi HR & GA.
Ketua IWO Indonesia DPD Karawang

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

[td_block_social_counter facebook="tagdiv" twitter="tagdivofficial" youtube="tagdiv" style="style8 td-social-boxed td-social-font-icons" tdc_css="eyJhbGwiOnsibWFyZ2luLWJvdHRvbSI6IjM4IiwiZGlzcGxheSI6IiJ9LCJwb3J0cmFpdCI6eyJtYXJnaW4tYm90dG9tIjoiMzAiLCJkaXNwbGF5IjoiIn0sInBvcnRyYWl0X21heF93aWR0aCI6MTAxOCwicG9ydHJhaXRfbWluX3dpZHRoIjo3Njh9" custom_title="Stay Connected" block_template_id="td_block_template_8" f_header_font_family="712" f_header_font_transform="uppercase" f_header_font_weight="500" f_header_font_size="17" border_color="#dd3333"]
- Advertisement -spot_img

Latest Articles